Sudah jatuh tertimpa tangga. Itulah kira-kira peribahasa yang bisa menggambarkan situasi hidup Janda di Sarfat dan Janda di Nain dalam bacaan hari ini. Menjadi perempuan di tengah masyarakat patriarkhat berarti statusnya melekat kepada laki-laki. Jika belum menikah, dia melekat kepada ayah atau saudara laki-lakinya. Jika telah menikah, dia melekat kepada suaminya. Bagaimana jika menjadi janda? Betapa malangnya! Mau melekat kepada siapakah dia? Maka sangat bersyukur janda yang memiliki anak laki-laki. Namun bagaimana kalau anak laki-lakinya itu mati? Sungguh-sungguh sudah jatuh tertimpa tangga! Lebih buruk lagi, Janda di Sarfat ditinggal mati anaknya justru ketika dia memberi tumpangan kepada seorang laki-laki yang mengaku diri sebagai abdi Allah. Abdi Allah kok kehadirannya membawa kematian?

Namun dua peristiwa celaka itu dicatat bukan sekadar untuk menunjukkan kecelakaannya. Keduanya dicatat justru untuk menunjukkan peristiwa setelah terjadinya kematian itu. Baik anak laki-laki Janda di Sarfat maupun Janda di Nain hidup kembali. Doa dan panas tubuh Elia menjadi sarana Tuhan untuk menghidupkan anak muda di Sarfat. Sentuhan dan perintah Yesus membuat anak muda di Nain menjadi hidup. Apa yang terjadi kemudian? Janda di Sarfat mengakui bahwa Elia adalah abdi Allah dan firman Tuhan yang dikatakannya adalah benar. Orang-orang yang mengiringi Janda di Nain memuliakan Tuhan dengan menyerukan bahwa ada nabi besar di antara mereka dan bahwa Allah telah melawat mereka. Sungguh hebat pengaruh kehidupan! Orang berseru memuliakan Tuhan karena yang mati hidup kembali.

Memuliakan Tuhan tidak hanya saat kita mendapat berkat sukacita, tetapi dalam berbagai keadaan. Contohnya dalam kehidupan Daud. Sekalipun niatnya untuk mendirikan Bait Suci tidak diijinkan oleh Tuhan, dia tidak kecewa dan tetap memuji Tuhan.

Orang juga bisa mati dalam hidup karena dihantui masa lalu yang buruk. Rasul Paulus tidak mau mati. Dia memang dulunya penganiaya dan pembinasa jemaat Kristen. Setelah ditemui oleh Tuhan, bisa saja Rasul Paulus merasa malu akan perbuatannya, lalu memilih menyembunyikan diri karena takut akan balas dendam orang-orang Kristen, takut tidak dipercaya, atau takut diejek dan dibunuh oleh sesamanya orang Yahudi. Namun Rasul Paulus tidak melakukannya. Sekalipun masa lalunya kelam, dia memilih hidup pada masa kini dengan penuh keyakinan dan ketegaran. Saat Tuhan memanggilnya menjadi rasul bagi orang-orang bukan Yahudi, dia siap melakukannya. Sekalipun masa lalunya bisa menghantui, dengan keberaniannya berubah, justru membuat orang-orang memuliakan Tuhan atas karya-Nya dalam dan melalui Rasul Paulus.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.