Jargon “Kalau bersih, mengapa risih?” tentunya pernah atau bahkan sering kita dengar. Jargon itu kerap digunakan untuk mengajak setiap pribadi melihat dirinya sendiri. Di dalam kehidupan sehari-hari, jargon itu akan mewujud demikian: bila seseorang sudah terbiasa jujur, ia akan berani menyuarakan kejujuran dan tidak risih, cemas apabila diminta membuktikan kejujurannya.
Sebaliknya, bila ada seseorang melakukan kebohongan, ia akan risih, takut, cemas saat diminta membuktikan kejujuran. Secara lebih luas, jargon itu menyatakan bahwa hati yang bersih akan menuntun orang berpikir dengan bersih, bertindak bersih dan melakukan apapun secara bersih, sehingga tidak risih. Risih terjadi karena ada yang kotor, maka hati yang kotor menjadikan pikiran, tindakan dan hidup kotor.
Perikop Matius 2:13-23 menyampaikan tiga kisah. Kisah pertama: pelarian ke Mesir (ay. 13-15). Kisah kedua, pembunuhan bayi-bayi oleh Herodes (ay. 16-18) dan kisah ketiga tentang kembalinya Yusuf dan Maria dari Mesir (ay. 19-23).
Penampakan malaikat Tuhan kepada Yusuf menunjukkan bagaimana relasi antara Yusuf dengan Tuhan yang terjalin baik. Melalui penampakannya, malaikat menyampaikan berita pada Yusuf tentang ancaman yang akan diterima Yesus (dan bayi-bayi lain di Israel). Karena itu Yusuf harus membawa Yesus dan Maria menyingkir ke Mesir. Alkitab menuliskan bahwa Mesir merupakan tempat yang kerap digunakan orang Israel untuk menyintas. Dengan demikian penyingkiran ke Mesir merupakan hal yang kerap dilakukan dalam rangka mendapat perlindungan. Yusuf mendengar perintah malaikat Tuhan dan melakukannya.
Kekerasan Herodes diceritakan pada ayat 16-18. Sumber-sumber sejarah mencatat tentang Herodes sebagai seorang yang gila kekuasaan. Bahkan ia juga tega membunuh anggota keluarganya sendiri demi pemenuhan ambisi berkuasa. Ketika ia merasa dikhianati orang-orang Majus, kemarahannya tak terbendung dan ia menyuruh membunuh semua anak di Betlehem dan sekitarnya. Pada ayat 18 penulis Matius menyampaikan bahwa peristiwa Herodes terjadi sebagaimana nubuat “kecelakaan” yang menjadi kenyataan dialami umat Allah. Dengan demikian, Matius menyampaikan bahwa peristiwa yang dialami Yesus Sang Mesias adalah peristiwa yang dapat dialami semua manusia. Ia berada di dalam tekanan, ancaman sejak dari mulanya.
Setelah Herodes mati, malaikat Tuhan kembali menampakkan diri kepada Yusuf dan memerintahkan Yusuf untuk meninggalkan Mesir dan kembali ke tanah Israel. Arkhelaus anak Herodes menjadi penguasa menggantikan ayahnya. Sebagai pemimpin, ia bertindak kejam seperti ayahnya. Di Israel, keluarga Yusuf menetap di Nazaret. Terkait dengan apa arti Nazaret, terdapat dua pemaknaan yang kerap kita dengar. Ada yang mengaitkan kata Nazaret dengan neser yang berarti “tunas” atau “cabang” yang mengacu pada Yesaya 11:1. Ia adalah tunas Isai, sebagai pewaris Daud. Ada pula yang menyebut Nazaret dan mengaitkannya dengan nazir yang artinya “seorang yang dibaktikan kepada Allah.”
Dari tiga kisah dalam Matius 2:13-23 ini tampak bahwa sejak semula kehadiran Sang Mesias yang hendak memulihkan kehidupan senantiasa ada di bawah bayang-bayang ancaman. Banyak pihak merasa “risih” dengan hadirnya Sang Pemulih. Namun demikian, Allah tetap pada kehendak-Nya untuk memulihkan kehidupan. Karena itu Ia memakai keluarga Yusuf untuk terlibat dalam misi-Nya.
Undang dan persilahkan Tuhan Yesus untuk masuk kedalam seluruh aspek kehidupan saudara. Jangan “risih”, jangan mengeraskan hati, jangan ditolak karena kehadiran Yesus membawa pemulihan bagi setiap pribadi yang berkenan kepada-Nya.