Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan orang lain dalam kehidupannya, baik dalam bentuk interaksi atau dalam pemenuhan kebutuhan untuk menunjang kehidupannya. Kesadaran akan kebutuhan hidup bersama dengan orang lain ini seharusnya membuat manusia hidup saling peduli, menerima, menghargai, dan menyayangi. Namun sayangnya, manusia sering dikuasai oleh sikap “eksklusif”, yaitu sikap bahwa dirinya adalah kelompok khusus, yang terpisah dari yang lain. Dia ada untuk dirinya sendiri atau kelompoknya.
Melalui bacaan firman Tuhan dalam Kitab Kejadian, kita melihat bahwa sikap “eksklusif” ini tidak dikehendaki oleh Tuhan. Dalam Kitab Kejadian 11:1 dikatakan bahwa manusia satu bahasa dan logatnya. Dengan kesatuan bahasa, mereka berkumpul di Sinear, nama kuno untuk Babel. Di sana mereka berencana mendirikan kota dengan menara tinggi sampai ke langit. Rencana ini digagalkan oleh Tuhan, bukan karena Tuhan tidak senang dengan pembangunan “proyek raksasa”, namun pada sikap “eksklusif” manusia. Sikap “eksklusif” itu nampak dalam kalimat: “Marilah kita cari nama, supaya jangan terserak ke seluruh bumi” (Kej 11:4). Mencari nama menunjukkan bahwa mereka tengah berupaya untuk menjadi dirinya sebagai pusat kehidupan, bukan Tuhan. Pembangunan menara itu menjadi upaya untuk menempatkan diri sebagai komunitas yang terpisah dari yang lain atau komunitas khusus. Atas dasar itulah, Tuhan memporak-porandakan rencana manusia dengan mengacau-balaukan bahasa manusia. Dari sanalah muncul kata Babel (dari kata Balal), yang berarti “mengacau-balaukan”.
Tuhan menuntun umat untuk tidak menyatakan sikap “eksklusif” dalam hidup. Umat seharusnya lebih menyatakan sikap “inklusif”, yaitu sikap dimana manusia membuka diri untuk menjadi bagian dari yang lain. Dengan sikap “inklusif”, umat diundang untuk merangkul semua orang, tanpa membeda-bedakan demi terwujudnya kehidupan bersama yang penuh damai sejahtera. Dalam Kisah Pentakosta yang tertulis dalam Kitab Kisah Para Rasul 2, Tuhan Allah bekerja menghancurkan semangat “ekskusivitas” yang menguasai umat manusia. Melalui karya Roh Kudus, Allah membangun “jembatan bahasa”, agar perbedaan yang ada terjembatani. Alkitab mencatat: “Bagaimana mungkin kita masing-masing mendengar mereka berkata-kata dalam bahasa mereka sendiri, yaitu bahasa yang kita pakai di negeri asal kita” (Kis 2:8). Karya Roh Kudus-lah yang membuat semua itu terjadi. Dengan jembatan bahasa itu, umat manusia dipanggil untuk membangun jembatan yang penuh dengan damai sejahtera bersama-sama. Umat Tuhan diundang untuk hadir di tengah kehidupan masyarakat untuk menjadi berkat. Umat harus hadir dalam hidup bersama untuk mendatangkan damai sejahtera baik dalam kata maupun perbuatan nyata. Gereja yang dikuasai oleh Roh Kudus adalah gereja yang siap merangkul semua orang. Dengan semangat Pentakosta, gereja diundang untuk memperbarui kehidupan. Gereja yang hadir di tengah masyarakat dengan semangat menyatukan perbedaan demi kehidupan bersama yang penuh damai sejahtera.