Ibadah merupakan salah satu cara manusia menghayati hubungan dengan Tuhan. Menurut Pokok-Pokok Ajaran GKJ (PPA GKJ), ibadah merupakan cara orang-orang percaya bersama-sama mengungkapkan dan menghayati hubungan dengan Allah, berdasarkan penyelamatan yang telah mereka alami. Untuk menghayati makna ibadah, sinode GKJ menetapkan Bulan September sebagai bulan katekese liturgi.
Liturgi dihayati bukan hanya sebagai urut-urutan ibadah, namun merupakan ibadah itu sendiri dimana umat menghayati hubungannya dengan Tuhan.
Bagaimana hubungan dengan Tuhan tersebut akan bersama kita hayati dalam bacaan hari ini. Ulangan 4:1-2, 6-9 menjelaskan bahwa umat Israel adalah umat yang telah menerima karya penyelamatan Tuhan. Israel adalah umat yang telah dibebaskan dari perbudakan di Mesir, diberi Tanah Perjanjian dan hidup dalam anugerah Tuhan. Seperti halnya Israel, kita merupakan umat berdosa, yang mendapatkan kasih karunia sehingga dibebaskan oleh dosa di dalam Tuhan Yesus. Sebagai umat yang menerima keselamatan, kita tentu memiliki hubungan yang khusus dengan Tuhan. Firman Tuhan menolong kita melihat keberadaan kita sebagai manusia berdosa, sekaligus mengenal akan Allah yang sangat mengasihi kita sehingga bertindak untuk menyelamatkan. Oleh karena itu, hanya hati yang dipenuhi dengan ucapan syukur atas anugerah Tuhan inilah yang menjadi dasar manusia dapat menjalin hubungan yang benar dengan Tuhan. Dari hati yang mampu bersyukur dan memiliki rasa hormat kepada Tuhan, akan muncul sikap hidup yang baik sebagai respon atas cinta kasih Tuhan. Hal tersebut nampak dalam firman Tuhan di Yakobus 1:7-27 bahwa iman (percaya) harus dinyatakan dalam tindakan nyata. Manusia tidak cukup hanya mendengar dan mempercayai firman Tuhan, namun juga harus mewujudnyatakan firman tersebut dalam kehidupan.
Ibadah merupakan hubungan manusia dengan Tuhan, yang tidak terbatas kepada sebuah tata urutan ibadah yang kaku, namun lebih kepada bagaimana manusia bisa menyatakan hidup yang benar. Tuhan Yesus mengecam sikap orang Farisi dan Ahli Taurat yang sering kali mengutamakan kesucian lahiriah dengan berbagai aturannnya, sedangkan kesucian hati tidak mereka perhatikan. Mereka lebih sering memikirkan tentang hal kesucian tangan dengan mencuci tangan sebelum makan, daripada kesucian hati yang terpancar dalam kehidupan. Oleh karena itu, Tuhan Yesus mengingatkan bahwa mengutamakan kesucian lahiriah sebagai ibadah justru akan menjauhkan mereka dari Tuhan. Apa yang masuk (makanan) adalah untuk kesehatan, dan tidak ada hubungannya dengan kesucian di hadapan Tuhan. Kesucian itu dimulai dari hati yang bersih, karena dari hatilah akan keluar semua pikiran dan tindakan manusia. Jika hati jahat, maka akan keluar pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan dan kebebalan. Namun hati yang bersih akan melahirkan pikiran positif, kerendahan hati, pengendalian diri, dan kekudusan hidup.