Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai suku, budaya, bahasa, agama dan ras. Dengan demikian, tak terhindarkan bahwa Indonesia menjadi wadah perjumpaan berbagai macam identitas. Baik identitas yang dikenal melalui penampilan tampak luarnya maupun kedalaman rohaninya.
Pakaian daerah, logat bahasa, rumah khas, makanan dan sebagainya menjadi penanda identitas yang lebih mudah kita kenali, daripada identitas yang berkaitan dengan norma, nilai, pola pikir atau segala sesuatu yang lebih substansial.
Dalam terang tema bulan Agustus 2018, “Bangsa yang Hidup Bersama Tuhan” dan melalui permenungan Minggu ini, kita diajak untuk menggumuli keterlibatan kita sebagai umat yang beridentitas kristiani dalam rangka memberikan sumbang sih yang nyata bagi kehidupan dalam masyarakat yang multi identitas ini.
Identitas Kristiani yang inti (substansial) adalah hidup di dalam Yesus, dan juga sebaliknya, menghidupi karakter Yesus yang ada di dalam kita. Sebab melalui dan di dalam Yesus, Allah menjadi sangat dekat dengan manusia. Bahkan dikatakan di dalam bacaan Injil Yohanes 6:35,41-51, “kita di dalam Dia, dan Dia di dalam kita”, karena Ia adalah Roti Hidup yang telah kita terima. Sebagai Roti Hidup, secara simbolik Yesus telah mendekatkan Allah yang dulu terasa ‘jauh dan ada di luar’, menjadi sangat ‘dekat dan ‘ada di dalam’ kita, dalam menjadi kekuatan kita. Masih tentang roti yang menyelamatkan, namun berbeda kisah, adalah cerita Nabi Elia. Alkisah, malaikat membawa roti yang berasal dari Allah, kemudian diberikan kepada Elia. Sehingga, Elia yang tadinya letih dan putus asa, merasa segar dan dapat melanjutkan perjalanannya kembali. Roti, secara simbolik mengungkapkan anugerah keselamatan dan kekuatan dari Allah. Tujuannya agar manusia dapat terus melanjutkan perjuangan untuk karyanya, melalui pikiran, perkataan dan tindakan yang baik sebagai manusia yang telah diperbaharui agar memancarkan identitasnya, bahwa Yesus Sang Roti Hidup di dalam diri kita.
Identitas yang hanya menampilkan citra atau kesan yang ditimbulkan saja, akan menjadi identitas yang buatan atau palsu. Ia dapat berhenti sebagai tanda seremonial saja, tanpa disertai kedalaman makna. Sebaliknya, ketika identitas itu telah merasuk sedemikian rupa, akan membentuk cara pandang dan cara hidup yang membangun kehidupan bersama. Identitas substansial semacam ini akan semakin dibasahi dengan semangat juang karena kedalaman spiritualitasnya.