Bahagia merupakan harapan dalam kehidupan manusia. Kebahagiaan biasanya diukur dengan keadaan kehidupan yang baik, misalnya pernikahan, memiliki anak, mendapatkan pekerjaan, dsb. Padahal dalam kenyataannya, hidup tidak selalu berada dalam keadaan yang baik. Oleh karena itu, banyak orang merasa tidak bisa hidup bahagia.
Firman Tuhan mengajarkan bahwa kebahagiaan tidak terletak kepada keadaan kehidupan, namun kepada hati yang bersukacita. Orang yang bersukacita adalah orang yang mampu melihat kebaikan dalam setiap keadaan kehidupan. Nabi Yesaya menggemakan bahwa sekalipun umat Israel masih berada dalam penderitaan, namun hendaknya mereka bisa melihat bahwa Allah mampu menolong mereka dengan membuat sebuah kota menjadi timbunan batu. Oleh karena itu, mereka diminta untuk berharap dalam sukacita dengan keyakinan iman: “Sesungguhnya, inilah Allah kita, yang kita nanti-nantikan; supaya kita diselamatkan. Inilah Tuhan yang kita nanti-nantikan, marilah kita bersorak-sorak dan bersukacita oleh karena keselamatan yang diadakan-Nya.” (Yes 25:9) Keyakinan tersebut semakin kuat ketika mendengar penghayatan iman pemazmur tentang Allah. Bagi pemazmur, Tuhan adalah Gembala yang selalu memimpin umat dalam segala keadaan. Bahkan sekalipun mereka harus melewati “lembah kekelaman”, mereka tetap yakin Sang Gembala akan menuntun mereka hingga berjumpa dengan Tuhan sendiri dan menikmati perjamuan bersama Tuhan di rumah-Nya.
Bersukacita dapat kita miliki ketika kita menyatakan dua hal berikut ini:
Pertama, memandang hidup secara positif. Rasul Paulus menegaskan kepada Jemaat Filipi agar mereka mampu memandang kehidupan secara positif. “Jadi akhirnya saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.” (Fil 4:8) Panggilan untuk bersukacita sangat ditegaskan Rasul Paulus bagi jemaat dengan mengatakan: “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan. Sekali lagi kukatakan, bersukacitalah.” (Fil 4:4) Kata “senantiasa” menunjukkan bahwa bersukacita harus dinyatakan setiap saat, dalam setiap keadaan. Rasul Paulus menyaksikan bahwa sekalipun saat itu berada dalam penderitaan, dipenjara, sudah lemah karena umur yang lanjut, bahkan dia juga menderita penyakit yang dia sebut sebagai “duri dalam daging”, namun dia tetap bersukacita. Bagi Rasul Paulus, Tuhan sudah memberikan anugerah dengan pengorbanan-Nya, apalagi yang kurang. Apabila keluarga kita saat ini berada dalam pergumulan, kita harus terus dapat berpikir positif, dan terus melihat pertolongan Tuhan yang sudah kita terima dalam kehidupan. Berhimpunlah bersama, bergandengan tangan, berdoa untuk mendapatkan jawaban tentang bagaimana Tuhan sedang membentuk keluarga kita.
Kedua, sukacita dapat kita rasakan ketika kita mampu menyadari siapa sesungguhnya diri kita. Injil menunjukkan bahwa hakikatnya kita adalah orang buangan yang dilayakkan menerima undangan dari Sang Raja. Siapa kita sehingga Sang Raja mengundang kita? Undangan yang sudah kita terima sebagai keselamatan adalah anugerah semata-mata. Hanya dengan melihat kehidupan sebagai anugerah, hidup akan menemukan sukacita.