Selepas dari pembuangan di Babel, Bangsa Yehuda berusaha menata kembali fondasi kehidupan iman mereka. Terlihat compang camping di sana-sini ketika kebiasaan penyembahan berhala tetap terbawa. Tekanan kultur kehidupan orang Babel seakan masih menekan mereka secara psikologis, sadar ataupun tidak sadar. Mereka terpenjara dalam kebiasaan lama dan belum bisa membebaskan diri darinya. Untuk itu, Zakharia terus menyerukan perubahan kehidupan. Di sisi yang lain, Bangsa Yehuda juga takut terhadap serangan bangsa-bangsa besar lainnya yang mungkin saja seketika menghabiskan mereka.
Mereka terpenjara juga oleh ketakutan akan kekalahan dari bangsa sekitar. Pada titik ini kisah Bangsa Yehuda memberi arti bahwa menjadi tahanan tidak hanya dibalik jeruji besi, namun juga dibalik ide-ide yang menakutkan dan menekan kita. Bahkan masa lalu pun bisa membuat Bangsa Yehuda terpenjara olehnya.
Di tengah situasi terpenjara oleh ketakutan dan masa lalu itu, Zakharia menyerukan kepada bangsa Yehuda agar terus mempertahankan pengharapan akan kedatangan Mesias – juruselamat mereka dari kondisi saat ini. Penting untuk dicermati adalah kata yang dipakai Zakharia untuk harapan, yaitu tiqvah – tidak hanya berarti harapan namun juga berarti tali/kawat tipis yang sangat kuat untuk menahan dan menyelamatkan umat. Sama seperti tali (tiqvah) yang dipakai Rahab untuk menyelamatkan pengintai Yerikho (Yosua 2:18). Nyawa kedua pengintai itu terselamatkan oleh tali yang tipis. Menggambarkan betapa tipisnya harapan itu namun cukup kuat untuk menjaga bangsa Yehuda. Pengharapan akan kesetiaan terhadap Tuhan yang melepaskan mereka dari bangsa Babel. Tuhan yang sama akan menuntun mereka pada jalan keselamatan. Dan dalam masa kritis inilah pengharapan menjadi amat penting. Dalam masa terkekang dalam penjara ketakutan inilah, pengharapan akan pertolongan menjadi esensial. Bentuk pengharapan yang paling mudah justru kita pelajari dari anak kecil. Pada suatu hari seorang ayah pergi kerja dan berjanji kepada anaknya bahwa ketika ia pulang oleh-oleh berupa boneka beruang akan menunggunya. Namun, sayangnya sang ayah hari itu pulang cukup larut malam. Betapa kagetnya sang ayah ketika ia sampai di rumah dan mendapati anaknya masih terbangun. Ia bertahan dari rasa kantuk yang hebat karena percaya bahwa sang ayah akan pulang membawa boneka beruang. Tidak barang sedetik pun ia meragukan janji sang ayah. Itulah pengharapan. Dengan esensi yang sama, seperti itulah umat yang berpengharapan.
Paulus dalam kelemahannya juga berusaha untuk penuh harapan. Paulus dengan lebih ekstrim bahkan menganalogikan tindakannya yang buruk itu bukan sesuatu yang ia inginkan. Ia menyebut keadaannya sebagai “tawanan hukum dosa”. Manusia memiliki hasrat untuk terus berdosa. Ditawan oleh hasrat tersebut. Dalam kondisi demikian Paulus menekankan pentingnya kekuatan yang datang dari Tuhan. Dengan gamblang Paulus bertanya, “Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?” Tubuh yang penuh dosa ini – jika ingin dikembangkan. Hanya oleh Yesus Kristus lah pembebasan itu terjadi. Menyambut kehidupan yang baru.