Dalam Lukas 13:10-17 diceritakan bahwa Yesus sedang mengajar di dalam salah satu rumah ibadat dan melihat seorang perempuan yang sudah delapan belas tahun dirasuk roh sehingga sakit sampai bungkuk punggungnya. Yesus memanggilnya dan berkata: “Ibu, engkau bebas (dilepaskan, diluputkan, dibebaskan – dengan makna “setelah dibelenggu”) dari penyakitmu (penyakit, kelemahan, masalah).” Di sini, kata “pembebasan” ini diungkapkan dalam perfect tense (bentuk kata kerja yang menunjukkan bahwa pekerjaan sudah dilakukan dengan sempurna). Itu mengungkapkan suatu perbuatan yang baru terjadi tetapi akan terus berlangsung dengan kekal. Sesudah berkata demikian, Yesus meletakkan tangan-Nya ke atas perempuan itu dan membuatnya sembuh. Hal menarik dari cerita tersebut adalah bahwa perempuan itu tidak meminta kepada Yesus untuk disembuhkan. Penyembuhan tersebut dilakukan atas inisiatif dari Tuhan.
Melihat peristiwa penyembuhan itu, kepala rumah ibadat tidak menjadi senang, tetapi marah. Kemarahannya disebabkan karena penyembuhan tersebut dilakukan pada Hari Sabat. Kemarahannya tidak ditujukan kepada Yesus secara langsung, tetapi kepada orang banyak. Dia mengatakan agar orang-orang yang ingin disembuhkan, datang pada hari selain Hari Sabat. Sikap kepala rumah ibadat ditanggapi Tuhan Yesus dengan mengatakan munafik. Kata munafik ini nampaknya tidak hanya ditujukan kepada kepala rumah ibadat, tetapi juga kepada orang-orang yang berpikir sama dengan dia. Mereka munafik karena menempatkan hukum buatan mereka di atas hukum Allah, berpura-pura prihatin kepada orang yang menderita, lebih mempriotitaskan kepada hewan (harta) mereka daripada orang lain, dan menutup kelemahan diri sendiri dengan cara menyalahkan orang-orang yang ada di sekitarnya. Sikap munafik ini tidak hanya dinyatakan dalam relasi sosial antar manusia, tetapi juga bisa dinyatakan dalam relasi dengan Tuhan. Yesaya 58:9-14 menandaskan tentang bagaimana umat juga melakukan kemunafikan di dalam ibadah kepada Tuhan. Mereka melakukan puasa untuk bertransaksi dengan Tuhan. Ketika sudah melakukan puasa, mereka bisa menganggap bahwa Tuhan berhutang kepada mereka. Begitu juga dengan merayakan Hari Sabat. Ketika berkumpul dan merayakan Sabat, mereka terus saja melakukan kejahatan. Oleh karena itu, melalui Yesaya, umat diundang untuk kembali melakukan ibadah yang benar. Tuhan tidak bisa dikelabui dengan ibadah-ibadah palsu, karena Tuhan tahu segala sesuatu. Tuhan menghendaki agar melalui ibadah, kita bisa semakin menjadi berkat bagi orang lain.
Seruan yang sama juga disampaikan oleh firman Tuhan di dalam Kitab Ibrani 12:18-29. Tuhan Yesus telah membuka jalan pendamaian manusia dengan Allah. Oleh karena itu, beribadahlah kepada Allah, melalui Yesus Kristus, dengan hormat dan takut akan Dia. Ibadah bukan lagi beban, melainkan sukacita dan kebahagiaan untuk memuji Dia, seperti yang diungkapkan pemazmur dalam Mazmur 103:1-8. Pemazmur menghayati bahwa Tuhan itu baik. Dalam merayakan Pepenkris dengan tema “Mesyukuri Keragaman dan Menghargai Perbedaan”, kita semua diundang untuk melakukannya dengan hati yang tulus dan di dalam rasa syukur kita kepada Tuhan.
Kiranya damai sejahtera, sukacita dan berkat dari Tuhan Yesus Kristus senantiasa menyertai dalam kehidupan Bapak, Ibu, Sdr/i dan keluarga. Amin.