Sejatinya, pendidikan adalah pembebasan dari belenggu kemiskinan, penindasan dan kebodohan sehingga manusia menjadi manusia yang seutuhnya. Manusia yang bebas merdeka dalam berpikir, bersuara, dan bertindak. Ini dikarenakan pendidikan adalah upaya pengenalan diri mengenal potensi diri, jalan hidup, dan tujuan hidup untuk melayani dan mengabdikan diri bagi kehidupan. Berkenaan dengan pendidikan yang membebaskan, kita bisa belajar banyak dari Tuhan Yesus. Ia dengan sengaja membekali para murid-Nya dengan ‘roh yang membebaskan’. Sehingga para murid melakukan karya dan membebaskan banyak orang yang tertindas. Baik ditindas oleh beragam penyakit, ketidakmampuan ataupun juga penindasan. Para murid membawa misi ‘pendidikan yang membebaskan’.
Kini setelah para murid usai melakukan karya, Tuhan Yesus dalam bacaan Injil Markus kita mengadakan ‘rékolèksi’ atau ‘mengajak para murid menilai apa yang telah mereka lakukan’. Ternyata, apa yang dilaporkan para murid sungguh indah. Banyak orang yang berani berpendapat tentang ‘siapakah Yesus’, bahkan para murid pun berani menyatakan imannya bahwa Yesus adalah Mesias. Kemerdekaan berpendapat, dan keberanian menyuarakan isi hati inilah wujud dari ‘pendidikan yang membebaskan’. Tuhan Yesus sengaja mendidik murid-murid-Nya dengan cara yang khusus, memberikan kepercayaan penuh kepada para murid untuk berkarya dan mengadakan rékolèksi. Apa yang dilakukan oleh Yesus, mau juga menyatakan bahwa seorang pendidik itu tidak lain seorang gembala. Bukan gembala yang berkarya karena upah, fasilitas dan kedudukannya, melainkan karena ‘panggilan hati’, sehingga fokusnya bukan dirinya sendiri melainkan muridnya. Memang sudah waktunya, arah pendidikan harus pada siswa, bukan pada guru.
Hal yang senada juga dikatakan oleh Daud dalam Mazmur 23.Daud menyadari bahwa hubungannya dengan Tuhan bukanlah sebuah hubungan simbiosis mutualisme, sebuah hubungan saling menguntungkan antara dua belah pihak. Hubungan Daud dengan Tuhan jauh melebihi kebutuhan-kebutuhan di dalam diri Daud sendiri dan itulah yang disebut dengan intimacy (keintiman). Hal inilah yang juga seharusnya ada dalam diri seorang guru, seorang pendidik dan seorang gembala, bukan ‘karena diuntungkan’, melainkan ‘hubungan hati, kelekatan akan karya dan tujuan’ bagi siswa atau jemaat yang telah dipercayakan oleh Tuhan. Jika hal ini bisa dilakukan, kita akan yakin bisa mewujudkan seperti apa yang dikatakan oleh Rasul Paulus dalam bacaan Èfesus 2. Yaitu, tidak ada lagi tembok pemisah, tidak ada lagi perseteruan dan yang ada hanya perdamaian dan kesetaraan. Tentu hal inilah yang dirindukan oleh setiap manusia.