Banyak berkat-berkat Tuhan yang boleh kita rasakan dalam kehidupan kita, dan itulah sebabnya Rasul Paulus menyatakan: “Bersyukurlah dalam segala hal” (1 Tes. 5:18). Ada banyak kasih dan kebaikan Tuhan yang telah diberikan kepada kita, dari hal-hal yang kita dapat rasakan sampai dengan hal-hal yang tidak kita sadari bahwa kasih setia Tuhan turut bekerja mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia (Roma 8: 28). Sehingga jangan kita membatasi berkat Allah hanya yang bersifat materi saja, supaya kita jangan terjebak pada situasi dimana kedekatan kita kepada Tuhan justru hanya untuk memenuhi keinginan-keinginan “daging” saja dan juga sikap yang hanya tahu meminta berkat namun tidak tahu mengucap syukur atas berkat yang telah diberikan Tuhan.
Salah satu cara menjadi berkat untuk orang lain adalah memiliki hati yang penuh dengan belas kasihan. Kata belas kasihan yang disebut pula welas asih, atau kepedulian, bisa diartikan: emosi seseorang yang muncul akibat penderitaan orang lain, lebih kuat dari sekedar berempati. Perasaan ini biasanya memunculkan suatu usaha untuk mengurangi penderitaan orang tersebut. Inilah yang dirasakan oleh seorang Samaria ketika melihat orang yang terluka akibat dirampok dan dipukuli oleh para penyamun (Lukas 10: 25-37). Dilandasi oleh belas kasihan, orang Samaria itu pun tergerak hati untuk menyatakan kebaikannya dalam tindakan nyata. Belas kasihan tanpa disertai dengan sebuah tindakan tidak akan berdampak apa-apa.
Dalam perumpamaan ini sesungguhnya ada 3 orang yang melihat orang yang sedang terluka parah di jalan itu dan sangat membutuhkan pertolongan: seorang imam, orang Lewi dan orang Samaria. Imam, yang tugas kesehariannya melayani di Bait Suci, ketika melihat orang yang terluka justru mempercepat langkahnya dan melewatinya begitu saja. Mengapa? Ia takut kalau-kalau orang itu sudah mati, sebab berdasarkan peraturan per-iman-an, barangsiapa menyentuh orang mati akan dianggap najis selama tujuh hari lamanya (Bilangan 19:11). Pikirnya, dengan menolong ia akan kehilangan kesempatan untuk bertugas di Bait Suci. Baginya, melakukan ‘pekerjaan’ pelayanan adalah lebih utama daripada menolong orang lain. Orang Lewi, juga tak mau mengambil resiko. Para penyamun seringkali punya kebiasaan memasang umpan di tempat yang sepi, contohnya dengan berpura-pura menjadi orang yang terluka. Begitu ada orang yang berhenti untuk menolong, segeralah para penyamun lain datang untuk mendekat, menyakiti dan merampoknya. Tetapi, orang Samaria, ketika melihat orang yang terluka, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan dan segera memberikan pertolongan. Ia berani mengambil resiko apa pun demi menolong orang lain.
Ketika melihat orang lain sedang ‘terluka’ dan sangat membutuhkan pertolongan, apakah hati kita tergerak untuk memberikan pertolongan? Apakah hati kita peka terhadap kebutuhan orang lain? Ingat, mengasihi itu bukan hanya dengan kata-kata saja, tetapi harus diwujudkan dalam sebuah tindakan. Amin